Aku lapar. Aku berjalan agak jauh dari sungai. Aku menemukan sebuah tanah pertanian. Ada seorang ibu-ibu sedang memeras susu sapi. Aku memperhatikannya. Dia yang sedang merasa diperhatikan akhirnya menatapku. Akupun menjadi kikuk. Tidak tahu harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Aku mengalihkan pandanganku dan menatapnya lagi. Tapi ibu-ibu itu masih menatapku. Aku pun lekas pergi menjauh tidak ingin mengganggunya. Tapi ia memanggilku. Ia mengatakan bahwa ia belum pernah bertemu denganku sedangkan ia mengenal seluruh warga desa di sini. Lalu ia bertanya tentang diriku. Dari mana diriku dan ingin ke mana tujuanku. Aku memperkenalkan diriku dan menceritakan kisahku. Dia pun mengundangku makan bersama. Ia menyediakan ayam kalkun, keju, roti, telur, kentang, air limun, dan es krim serta apel. Setelah selesai makan ia menyediakan biskuit dan teh. Rasanya benar-benar nikmat. Aku berterima kasih padanya. Dan meminta izin untuk sholat. 

Setelah itu aku berpamitan kepadanya untuk melanjutkan perjalanan pulang yang entah jalan mana yang harus kulalui. Tapi ia memintaku untuk menginap walau hanya satu hari. Aku tetap meminta pulang,tapi ia memaksa. Akhirnya aku tetap di sini. Dia mengajakku ke sebuah ladang miliknya. Di sana ada suaminya dan anak laki-lakinya. Mereka memiliki otot-otot yang besar. Yang memberi makna mereka adalah pekerja keras. Aku membantu mengumpulkan jerami, menyikat sapi,menggunting bulu domba,memberi makan ayam, mengumpulkan telur, menyiram tanaman mereka,mengembalakan domba, menyikat kuda dan mencoba menunggang kuda. Tapi sayang kuda ini malah berlari cepat menerobos ladang jagung. Merusaknya dan menjatuhkan aku. Tulangku serasa remuk walaupun sebenarnya tidak remuk. Tapi cukup ngilu untuk merasakannya. Ibu itu mengobatiku. Dan membawaku ke sebuah padang rumput. Padang rumput yang begitu luas dengan dipenuhi bunga dandelium.

Akhirnya malam tiba. Aku pulang ke rumah mereka dengan rasa cape yang luar biasa sekali. Tubuhku pegal tapi aku senang setidaknya aku mendapatkan pengalaman. Setelah sholat maghrib dan Isya. Kami dan keluarga mereka membaca buku dengan di temani lampu minyak. Buku yang kubaca sangat menarik. Akhirnya aku tertidur melepas rasa lelah dan letih. Ayam berkokok. Kami sholat berjamaah. Setelah sarapan aku sudah tidak bisa berlama-lama lagi di sini aku harus pulang. Memang mereka sudah seperti keluargaku sendiri. Mereka sungguh baik tapi aku harus tetap pulang. Mereka memberiku bekal agar aku tidak lapar di jalan. Dan  menunjukan sebuah jalan yang bisa di lalui. Aku berjalan sesuai petunjuk mereka.

Di tengah jalan aku bertemu dengan gadis sebaya denganku. Gadis itu memakai gaun dan tudung yang sangat imut. Dia pun bertanya padaku hendak kemanakah aku. Aku menjawab dengan singkat “ Aku akan ke Kota”. Dia mengajaku naik ke karavannya. Karena ia juga hendak ke sana. Ditengah jalan kami melawati sebuah hutan. Nasib kami sedang sial saat itu. Kami bertemu dengan para perampok. Semua yang kami miliki mereka ambil. Dan mereka menculik kami. Kami diikat tapi Alhamdulillah tidak diawasi. Dengan nekat kami menjatuhkan diri. Memang agak sakit rasanya. Tubuhku menjadi lebam biru. Tapi itu adalah harga yang setimpal yang harus kami bayar. Kami bersembunyi di balik semak. Untung gadis itu membawa pisau lipat. Jadi tali yang menjerat kami putus.

Kami memakan raspberry untuk menghilangkan rasa lapar. Tapi sama sekali tidak membantu menghilangkan rasa lapar ini. Kami terduduk kecapean. Aku bertanya pada gadis itu tentang siapa namanya dan aku pun memperkenalkan namaku serta bertanya padanya “Anne,barang-barang yang akan kau jual ke kota sudah dirampas mereka. Jadi, apakah kau akan tetap ke kota?” Anne menjawab dengan tergesa-gesa “ Bantu aku mengumpulkan Raspberry ini,kita akan menjualnya ke kota” Kami mengumpulkan buah itu sebanyak- banyaknya. Dan melanjutkan jalan ke kota. Akhirnya kami sampai di kota. Panas sekali, matahari tepat di atas kepala kami. Emely menjual buah itu. Dan kami segera ke mushola terdekat untuk sholat dzuhur.

Emely menatapku. Dan bertanya kepadaku “Emely sejujurnya di kota ini kau ingin kemana?”  Aku menceritakan semuanya pada Anne. Dan aku berkata “Aku ingin pulang. Ini bukan kota tempatku tinggalku. Untuk menuju tempat tinggalku aku harus naik 2 kali transit lagi” Anne menatapku. Ia berdiri. Dan menarik tanganku. Untuk membantu aku berdiri. Ia berkata “Aku akan mengantarkanmu pulang. Mungkin sebaiknya kita naik kereta saja. Ayo! Tiketnya biar aku yang bayar saja. Raspberry kita laku keras. Ini sebagai tanda terima kasihku padamu karena telah membantuku menjualnya” Akupun tersenyum gembira. Di mataku terlihat jelas sebuah cahaya berkilat-kilat. Aku penuh antusias dan berterima kasih kepada Anne.

Kami naik kereta. Angin semilir berhembus ke arah kami. Akhirnya kami sampai di stasiun. Kami sholat sebentar di mushola. Dan melanjutkan perjalanan. Anne menatapku sembari berkata “Habis dari sini kita harus kemana lagi?” Aku menunjuk sebuah bis dan berkata “Kita naik bis itu” Kami berlari cepat. Meninggalkan stasiun ini. Kami menghempaskan tubuhku di kursi. Aku berkata kepada Anne “Terima kasih Anne,telah mengantarkan aku pulang. Oh ya lalu bagaimana kamu pulang?Apakah ongkosmu masih ada? Kalau sudah habis aku akan meminta ibuku agar memberikan uang kepadamu. Sebagai tanda terima kasih.”

Anne tersenyum getir “Tidak terima kasih. Emely sejujurnya aku sebatang kara. Aku hidup sendirian. Untuk mencari makan terkadang aku menjual hasil hutan ke pasar. Terkadang aku juga menjual kue yang dibuat orang di tanah pertanian tadi. Terkadang aku tinggal bersama orang itu. Dia baik padaku. Aku diberi makanan dan baju. Dia sudah seperti ibu kandungku. Tapi walau bagaimanapun juga hatiku tetap kosong. Aku merindukan ibu kandungku. Terkadang samar-samar aku mengingat wajah ibuku. Dulu sekali saat aku berumur 5 tahun aku terpisah dari ibuku. Aku terus mencarinya. Tapi aku tidak menemukannya. Ibu Merry selalu mengatakan ini padaku.”Anne berhentilah mencari. Karena aku tahu kau telah menemukannya. Kau menemukan bahwa ia sudah pergi.”

“Aku tidak bisa menyetujui perkataannya. Aku tetap merindukan ibu kandungku. Aku hanya setia berada di sisinya,karena ibu Merry tidak memiliki anak. Yah kami senasib kami seperti anak kunci dan sebuah gembok. Kami saling melengkapi. Ia memiliki suami yang sudah kuanggap ayahku sendiri. Setiap bulan dia membawakan aku sebuah novel. Yang terkadang malah mengingatkanku pada ibuku. Karena sewaktu aku masih kecil setiap malam ibu menceritakan berbagai kisah padaku sampai akhirnya aku mengantuk dan dia mengecup keningku serta mematikan lampu kamar tidurku.”

Anne menatap roknya dan ia menitikkan air matanya. Aku memeluknya erat. Aku tidak ingin melihat ia sedih. Aku menatap matanya. Dan mengelap air matanya. Sembari tersenyum aku mengatakan “Kau bisa menganggap ibuku sebagai ibu kandungmu”. Ia tersenyum tertawa “Akukan sudah bilang aku tidak bisa menganggap orang lain sebagai ibuku. Aku hanya ingin ibuku.” Ia menundukan kepalanya lagi. Lagi-lagi aku merasa sedih. Aku merangkulnya meletakan kepalaku ke pundaknya. Dan tiba-tiba seperti tersengat listrik aku bangkit. “Kita bisa mencarinya. Hei ini akan menjadi petualangan seru”

Anne tersenyum getir,menggeleng dan kembali menunduk.”Kurasa ini bukan ide yang bagus. Bahkan kita tidak tahu dia ada dimana” Aku menatapnya “Tak bisakah kau mengingatnya?” Ia menggeleng. Pasrah. Lalu ia berkata dan tersenyum “Hei lagipula misi kita ke kota ini kan untuk mengantarkanmu pulang.”

Aku menatap ke jendela.”Aku sudah pulang,aku sudah sampai di kotaku. Dan rinduku sudah terobati” Dia tertawa renyah dan memukul pundakku pelan.”Oh jadi, ternyata kau rindu suasana kota ini,bukan ibumu yah?” Aku tersenyum berhasil membuatnya tertawa”Tidak begitu juga kok” Aku kembali memandang ke luar,menatap awan dan memperhatikan kota ini yang begitu sibuk. Semua orang bergerak dengan cepat. Terburu-buru,seperti sedang bertarung dengan waktu. Aku kembali menatapnya,mengalihkan pembicaraan,kembali ke konteks dirinya. Aku menatapnya serius “Anne aku ingin kau mengingat kejadian 12 tahun yang lalu.” Anne termenung. Ia seperti sedang mengingat-ngingat tapi tak ada yang keluar dari ingatannya. Ia menghela nafas. Kami pun terdiam. Pemberhentian terakhir kami sudah sampai.

Kami turun dari bis. Anne terpaku. Aku menatapnya dan menatap ke arah yang ia lihat. Tidak ada apa-apa kecuali orang-orang yang bergegas datang dan pergi. Anne berkata tiba-tiba “Itu ibuku.” Dia berlari cepat. Aku ikut berlari. Secepat itukah bertemu dengannya?baru kami bicarakan tapi dengan tiba-tiba ia sudah hadir. Ini menakjubkan. Ku kira aku akan menemukan pengalaman seru untuk mencari wanita itu.

Anne tiba-tiba berhenti mendadak hampir aku jatuh terjengkang, menghindar agar tidak menabraknya. Aku menatapnya. Air matanya meleleh. Aku bertanya” Yang kau lihat beneran dia atau hanya ilusi?” Dia menggemeretakan giginya. Menatapku tajam. “Tentu saja itu dia. Dia,,,dia bersama ayahku  anak laki-laki kecil kira-kira berusia lima tahun, anak bayi dan yang satu lagi gadis kecil berumur tiga tahun. Ibu menggendong anak bayi itu. Sedangkan ayah menggendong gadis kecil yang mengantuk itu dan menuntun anak laki-lakinya. Mereka semua tertawa gembira. Hanya gadis kecil itu yang memajang expresi mengantuk dan anak laki-laki kecil itu dengan expresi kelelahan. Aku tidak bisa mempercayai ini. Bagi mereka kehilangan satu anak tak mengapa. Karena pada akhirnya mereka bahagia dengan ketiga anaknya. Mereka sudah menganggapku tidak ada. Mereka sudah tidak mempedulikan aku. Mereka sudah melupakan aku. Dan melupakan semua kenangan tentangku”

Ia terduduk di jalanan ini dia menangis kencang. Aku memegang pundaknya. Tanda bersimpati. Orang yang lalu lalang menatap kami. Seolah kami sedang memainkan sebuah opera. Aku agak risih dengan tatapan mereka. Kalau ini di komik. Mungkin aku akan menjauh pura-pura tidak kenal. Tapi itu jahat sekali. Anne ada saat aku membutuhkan teman. Sudah seharusnya aku ada saat dia membutuhkan seorang teman. Untuk berbagi cerita,menemukan solusi,dan membantunya menyelesaikan masalah.

Dia bangkit dan berhenti menangis aku membawanya pulang, ke rumahku. “ Assalamu alaikum. Ibu aku pulang”  -sepi- Tidak ada orangkah di rumah. Apakah aku telah meninggalkan mereka terlalu lama. Hingga setelah aku datang semuanya telah berakhir. Aku ke lantai atas bersama Anne. Aku melihat dia benar-benar seperti orang yang tertekan. Memang benar jika Ibu Merry berkata seperti itu. Aku pun berusaha menghibur dengan mengatakan “Tak perlu terlalu dipikirkan.” Ia menatapku tajam “Bagaimana bisa aku tidak memikirkanya sembentar lagi aku akan memeluknya,tapi aku malah berhenti. Shock melihat mereka begitu gembira” Aku tersenyum “Seharusnya kau senang melihat mereka gembira. Setidaknya kau bisa ikutan bergembira” Dia mendengus. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan sholat berjamaah.

Ibuku pulang dan panik karena ketika ia datang pintu telah terbuka. Ia berteriak keras ”Apakah maling sudah tau tempat persembunyian kunci kita” Aku berlari turun ke bawah.  Aku tersenyum lebar sembari menitikkan air mata. Aku begitu rindu dengan mereka. Mereka bertiga menatapku terpana. Seperti sedang melihat ilusi. Ibuku tersenyum dan menitikan air mata. Kami berpelukan hingga akhirnya ibu marah-marah “Kemana saja kau setahun ini hah? Sudah bosan kah engkau dengan rumah ini sampai-sampai kau kabur?” Dia berteriak- teriak berkata dari A sampai Z tidak selesai-selesai. Aku yang ingin menerangkan akhirnya jadi tidak antusias akhirnya. Aku menerangkan dalam hati atau hanya untuk orang yang ingin mendengarkannya saja. “Sewaktu aku menemukan kunci itu aku berjalan-jalan ke taman kota dan bermain di labirinnya. Hingga aku menemukan sebuah pintu. Ketika aku masuk pintu itu terkunci. Aku tidak bisa mundur. Akhirnya aku terus melangkah hingga akhirnya aku menemukan sebuah menara. Aku tinggal di sana setahun ini. Hingga akhirnya aku merasa bosan dan ingin pulang. Di perjalanan pulang aku singgah di sebuah tanah pertanian. Dan aku menemukan teman seperjalanan. Hingga akhirnya kami di rampok. Alhamdulillah kami bisa membebaskan diri walau tubuh kami akhirnya memar karena menjatuhkan diri.” Aku pun memperkenalkan Anne kepada mereka.

“Subhanallah petualangan yang menakjubkan. Ayo kita makan. Pati kalian begitu lapar setelah mengalami perjalanan jauh ini kan?” Aku menyetujuinya. Ayah menghampiriku. Memelukku dan berkata “Aku rindu pada suaramu ikal mas. Gadis kecil manisku.” Dia memelukku hangat. Aku rindu dengan berjuta kisah yang ia ceritakan padaku saat aku masih kecil. Aku menatap kakak laki-lakiku. Dia hanya tersenyum sok manis kepadaku. Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman tak kalah Sok Manis. Serta senyuman nakal karena aku teringat akan keisengan dan kejailannya. Perang kita belum selesai saudaraku.

Anne menatap kami di belakang. Suasana haru biru ini membuatnya rindu pada keluarganya. Ia mengutuki dirinya sendiri kenapa dengan bodohnya ia berhenti mengejar mereka. Aku pun mengenalkan Anne pada keluargaku. Kakakku agak salah tingkah menatapnya. Jilbab pinknya yang tertiup angin. Membuat kakakku kikuk. Kami makan malam bersama. Karena kedatanganku ibukupun memasak ayam kalkun yang besar. Nikmat sekali. Ternyata wajah Anne yang acak-acakan tetap membuat kakakku jatuh cinta ckk. Setelah makan aku dan Anne membantu ibu membereskan meja makan,dan di sambung dengan mencuci piring. Anne hampir menjatuhkan piring tapi dengan sigap kakakku memegang piringnya. Ibu bertanya ini itu padaku. Tapi kalimat pertanyaanya yang malah terkesan seperti kalimat pernyataan membuatku urung menjawabnya. Terlebih ibuku terus berkata ini itu yang membuatku malas mendengarkannya. Terkadang ia mengulang perkataanya karena begitu neoritic.

Aku menghela nafas akhirnya selesai juga mencuci piringnya. Ibuku melihat tubuhku yang biru legam. Ia berteriak keras. Hampir-hampir ia akan menjatuhkan gelas kopi ayahku. Ayahku yang masih berada di kursi sembari menonton bola. Dengan sigap memegang gelasnya erat-erat. Ia menghela nafas dan bersungut-sungut. Hampir saja kopinya tumpah ke celananya. Dan gelas kesayangannya pecah. Dan tidak jadilah ia marah. Ayahku walaupun pendiam tapi jika marah, seisi rumah bisa hancur seperti terkena bencana gempa 9 skala ritcher. Dan kami persis seperti para pengungsinya. Ayahku tegas dan disiplin,serta pendiam. Sangat cocok sekali dengan ibu yang begitu cerewet.

Mata ibuku masih mendelik seram. Diam meminta keterangan dariku. Aku menjawab datar “Ini bekas jatuh dari karavan. Aku kan sudah menceritakannya. Jangan –jangan ibu tidak mendengarkannya. Hiks menyedihkan”. Ibuku pun membalurkan obat padaku. Aku juga memberikannya pada Anne. Ia hanya menatap dengan tatapan kosong. Astagfirullah alazim. Nih orang nyawanya seperti sudah hilang. Aku pun memberikannya sekali lagi dengan suara lantang. Agar pikirannya kembali ke dunia nyata. Ia pun memegang lemas.  Pasti jika sekarang ia di rumah. Ibunya yang akan mengoleskannya. Akupun mengoleskannya walaupun rasanya males banget.

Akhirnya kami ke atas untuk sholat isya berjamaah. Aku mengajak Anne ke kamarku. Dan bertanya “Apakah kau suka novel” Ia mengangguk singkat. Tapi walaupun begitu jawabannya telah membuatku puas. Aku mengajaknya ke ruang baca. Aku merekomendasikan berbagai novel untuk dibaca olehnya. Aku seperti penjual buku yang sedang  membuat pembeli terpesona oleh cerita yang di suguhkan oleh sang penulis aku bercerita panjang lebar tentang buku itu. Membuat Anne begitu tertarik dan ingin membacanya. Dan aku pun tersenyum seperti penjual yang puas karena mendapatkan pelanggan baru.

Anne sedang membaca novel yang aku rekomendasikan. Aku berkata pada Anne dengan suara nyaring dan bernada intelektual ”Setidaknya kita sudah mengetahui ibumu ada di kota ini” Aku mematikan lampu dan menyalakan lampu baca serta mengarahkannya pada Emely. Aku berkata dengan nada tegas,memberi penekanan pada setiap intonasinya. Seperti selayaknya polisi yang sedang mengintrogasi tersangka. “Anne kau harus mengingat kembali kejadian itu. Ke arah mana keluarga mu pergi?” Dengan takut-takut ia menjawab “Ke arah Barat Daya.” Aku menjawab nyengir dengan suara kencang aku berkata“ Apa ke Buaya?” Dia tersenyum getir. Tersenyum karena aku berhasil mencairkan suasana,dan getir karena aku telah membuatnya kaget. Lalu aku melanjutkan pertanyaan “Apa saja yang mereka bawa?” Dia menjawab singkat “Tas” benar- benar singkat. Aku melanjutkan terorku yang horor. Dengan suara kencang mengagetkan “Selain itu?” Ia menggeleng “Aku berteriak jawab dengan kata-kata!” Dia menjawab gugup”Ti,,,tidak ada,selain anak mereka” Aku menerjang “Itu artinya ada.” Aku mengambil kesimpulan “Karena mereka membawa tas yang sepertinya berisi baju. Jadi, kemungkinan besar mereka baru pulang dari suatu tempat. Dan tempatnya itu bisa jadi rumah orang tua mereka. Anne masih ingatkah enkau dengan rumah orang tua mu?” Dia menggeleng. Aku bertanya memastikan”Walaupun bentuknya saja?” Dia tetap lupa.

Aku pun akhirnya menyudahi interogasi ini. Karena aku sadar lama-lama aku jadi seperti psikopat. Kakakku datang telat “Ada apa sih ribut-ribut?” Tapi melihat kami sedang membaca novel. Ia menjadi bingung. Pikirnya, “apa aku salah dengar?”Aku pun berfikir “Abis dari mana saja ente? ribut-ributnya tadi,datangnya sekarang. Seakan-akan kamar dia jauh dari kamurku. Padahal Cuma sebelah-sebelahan.

Keesokan paginya. Seusai salat shubuh kami berdua memulai pencaharian. Kami tidak tahu harus memulai dari mana. Bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi nanti. Kami pun hanya mencari tanpa tujuan yang jelas. Membuang-buang energi. Matahari semakin naik. Begitu panas seakan-akan kami berjalan di padang pasir dengan matahari tepat berada di atas kami. Akhirnya kami beristirahat dan membeli es kelapa. "Dari pertanyaanku kemarin malam. Kita bisa menyimpulkan keluargamu habis pergi dari tempat yang jauh. Atau mungkin mereka habis mudik. Lebaran belum ada seminggu yang lalu kan?" ia pun mengangguk. Akupun masih menerka-nerka "Anne coba kau ingat kembali rumahmu,coba kau pejamkan matamu." Anne memejamkan matanya ia mengatakan warna rumahnya berwarna biru. Kamarnya ada di depan dengan sebuah jendela yang menyajikan halaman rumahnya. Akupun termenung lagi. Tahu warna cat rumahnya pun sepertinya tidak membantu. Itukan ingatannya 12 tahun yang lalu. Lagipula rumah yang bercat biru pasti banya. Andai ada petunjuk lain.



         Tiba-tiba dia menjelaskan. Rumahnya penuh dengan pepohonan yang ia tanam sendiri atap rumahnya warna putih. Dengan mobil di garasi. Ia pernah menghafal nama jalan rumahnya. Nama jalannya adalah Jalan Leighton. Aku menatapnya dengan tatapan berkilat-lilat. Yeah itulah petunjuk yang kami butuhkan. Setidaknya kami menemukan tempat untuk mencari. Setidaknya kami masih bisa melangkah dengan pasti.



           Tapi terkadang kemudahan datang dengan sang masalah. Mereka berdua bagaikan kedua sisi mata uang. Saling berbeda dan bertolak belakang. Jadi,masalah berikutnya adalah aku tidak tahu jalan Leighton di mana. Harap maklum. Saya menghabiskan hidupku di dalam rumah terus. Paling keluar kalau memang ada keperluan,misal untuk menuntut ilmu. Atau membeli makanan,ke rumah saudara atau teman,reflessing. Terlepas dari itu aku mengurung diri di kamar. Kami berdua pun pulang. Dan aku bertanya kepada ibuku dimana Jalan Leighton itu. Tapi sayang sekali yang kudapatkan hanya larangan "Kenapa kau bertanya seperti itu? Kalian berdua ingin kesana? Jangan bermain jauh-jauh nak. Nanti kalian hilang. Kau sudah hilang satu tahun saja ibu merasa begitu sedih. Apalagi jika kau hilang lagi.”

Merasa kami tak akan mendapatkan jawaban dari ibuku. Kami pun mendatangi kakakku. Ia menjelaskan panjang lebar tentang keberadaan tempat itu,serta jalur mana yang dapat kami tempuh,tidak lupa pula dia menjelaskan mobil apa yang bisa kami naiki. Kamipun mencatatnya dengan terburu-buru. Menyamakan kecepatan dengan penjelasan ia. Sentuhan terakhir aku meminta uang kepada ibu untuk jajan. Padahal sejujurnya untuk ongkos. Lalu kami membawa bekal,dan air,serta mukenah,dan Hp jika ternyata kami nyasar dan tidak tahu arah pulang.

Kami memulai perjalanan. Kami menaiki kereta api yang akan membawa kami ke jalan leighton. Dilanjutkan dengan bis. Kami mencari-cari jalan itu. Aku pun bersyukur tadi sempet menyobek peta kotaku di kamar kakakku. Kami mengadakan penelitian. Dan akhirnya kami telah menemukan jalan itu. Kami sholat dzuhur di mushola terdekat. Sepi.
Lalu kami mencari rumah yang mirip dengan yang Anne ingat. Susah juga mencarinya, tapi untung Anne tahu setiap detail jalan ini. Kami menemukannya,tapi rumah ini seperti sudah tak berpenghuni. Catnya luntur di makan zaman. Tumbuh-tumbuhan sudah mati tak terurus,dan tak diberikan air. Hanya tumbuhan liar yang tumbuh subur sampai-sampai rumput yang pendek berubah jadi ilalang.



          Anne tahu tempat persembunyian kunci rumahnya. Di bawah pot. Ia mengingatnya samar-samar 12 tahun yang lalu. Rasa sedih menyergap kami berdua. Pohon Ek menjatuhkan daunnya yang sudah kering dan coklat. Kami memasuki kamar pertama. Kamar Anne saat ia berumur 5 tahun. Kamarnya dari bayi sampai balita. Dari semua ruangan yang berantakan,hanya kamar Anne yang masih rapih. Mungkin 12 tahun yang lalu mereka terus membersihkannya. Tapi mungkin juga tidak di bersihkan sehingga serapih ini. Anne menitikan air matanya. Tempat ini penuh kenangan.

Ia berteriak padaku "Lihat mereka meninggalkan rumah ini. Mereka meninggalkan kenangan tentang diriku. Mereka ingin melupakan aku. Mereka tak ingin mengingatku. Walaupun selama ini aku selalu merindukan mereka." aku menenangkan "Mereka hanya tak ingin bersedih lama-lama" dia memotong perkataanku "Dengan melupakan aku?" Aku menarik nafas menatap ke jendela memperhatikan pohon Ek di depan jendela. Ada seekor burung disana. Pohon itu masih berpenghuni dan memberikan manfaatnya. Aku menjawab pertanyaannya. "Semua ini milik Allah dan hanya kembali pada Allah,mereka harus mengikhlaskanmu mereka tidak bisa terus bersedih. Mereka juga masih memiliki kehidupan untuk dijalani."

Ia mendengus "Aku masih hidup" Aku menjawab cepat "Tapi mereka tidak tahu." dia bertanya kembali "Apakah selama ini mereka mencariku?" Aku menjawab dengan tenang "Tentu, Karena semua orang tua yang akan selalu mencintai anaknya." Ia terdiam pasrah berharap ia akan bertemu keluarganya. Ia begitu rindu kepada mereka. Serindu mereka kepada dirinya.                                         

Anne masih tetap menangis. Akupun menengkan sembari bergegas “Kita harus mendapatkan petunjuk untuk menemukan orang tuamu. Mungkin di kamar orang tuamu atau di ruangan lain akan memberikan kita petunjuk. ”Aku pun berlari ke kamar orang tuanya. Mencari-cari petunjuk kecil yang siapa tahu begitu berguna.

Aku pun bertanya pada Anne “Anne, apa keluarga kalian memiliki foto keluarga?” Dia mengangguk. Aku melanjutkan pertanyaanku “Di mana biasanya mereka letakkan?” Dia menjawab terisak. “Di dinding ruang tamu,serta lemari. Terkadang ada di dinding dan laci kamarku serta kamar orang tuaku” Aku memeriksa “Tidak ada. Kukira mereka membawa foto-fotomu. Dan hal ini membuktikan bahwa mereka terus merindukanmu. Mereka melepas rindu itu dengan menatap fotomu ketika kau masih kecil.”

Tiba-tiba terdengar suara orang memasuki rumah ini. Aku keluar melihatnya. Dia seorang ibu – ibu tua. Ia meneriaki kami. “Siapa kalian? Mau apa kalian di rumah ini hah?” Aku pun menjawab dengan sopan “ Dia adalah anak pemilik rumah ini. Apakah anda tahu pemilik rumah ini pindah kemana?” Dia termenung sebentar ia menatap Anne dalam-dalam. Anne menatapnya. Seulas senyum tergambar di wajahnya. Mereka berpelukan “Anne, kau sudah tumbuh besar sekali. Kau menjadi gadis yang sangat cantik. Kau masih mengenalku? Aku ibunya Andrews. Sejak hilangnya kau 12 tahun yang lalu. Banyak yang kehilangan dirimu. Orang tuamu serta anakku Andrews ia jadi kehilangan teman main. Hari-harinya ia habiskan di rumah saja. Ia begitu merindukanmu.”

Anne pun menyela cepat “Lalu bagaimana keadaan orang tuaku semenjak aku hilang dan di mana ia bertempat tinggal sekarang?” Ibu  Andrews tertawa renyah “Haha,,,jangan terburu-buru nak. Masih ada waktu panjang untuk kembali ke pelukan orang tuamu. Sekarang kalian harus ke rumah ku dulu. Mandi, sholat ashar. Minum teh serta biskuit buatanku. Baru aku akan mulai bercerita. Ceritanya panjang sekali.

Kami bertemu dengan Andrews. Dia adalah laki-laki yang begitu tertutup. Dia menatap Anne begitu lama tatapannya mengisyaratkan dirinya begitu merindukan Anne. Ia ingin memeluk Anne untuk melepas rindunya. Tapi ia urungkan. Ia masih bisa mengontrol dirinya. Anne memberikan senyuman termanis yang ia miliki dalam hidupnya. Kami pun bergegas mandi dan sholat ashar berjamaah. Setelah itu kami berkumpul di meja makan.

Awalnya Nyonya Douglas hanya menyuguhi kami biskuit dan teh tapi karena ayam kalkun masakannya sudah jadi,kami pun memakannya. Begitu nikmat. Andrews masih mencuri pandang ke arah Emely. Dirinya memang begitu cantik. Kakaku saja seperti menyukainya pada andangan pertama. Tapi sayang sepertinya yang dalam otak Anne tidak ada tentang cinta. Satu-satunya yang ia pikirkan saat ini adalah keluarganya. Mungkin ketika dirinya bertemu dengan keluarganya ia akan memikirkan tentang cinta.

Andrews memberikan sapu tangan padanya. Anne mengelap air matanya dan ingusnya. Badanya begitu kurus ringkih. Pipinya tirus. Matanya cekung. Dan ada kantung mata di bawah matanya. Matanya begitu sembab karena ia begitu menangis. Tapi walaupun terlihat buruk seperti itu tampaknya ia masih bisa menebar pesona. Membuat laki-laki muda yang melihatnya dan berjarak tidak jauh darinya begitu terpikat. Serta tidak akan melepaskan pandangannya dari Anne. Bahkan jika kita memukul kepalanya sepertinya ia tidak akan merasakannya.Hahaha,,,

“Emely rasanya senang sekali kau menatap Andrews lama-lama” Bibi Douglas menghentikan lamunanku. Pipiku merona merah. Tampaknya sekarang gantian aku yang menjadi pusat perhatian dan diperhatikan. Tapi setidaknya pandangan Andrews sudah tidak menatap Anne. Tapi aku masih menunduk malu. Andaikan aku juga tidak ikut-ikutan mencuri pandang seperti Andrews.

Nyonya Douglas pun memulai percakapan “Jadi, Anne sesaat orang tuamu kembali ke kota ini. Ia tetap meminta polisi mencarimu. Tapi mereka tetap tidak menemukanmu. Mereka menangis seharian. Hati mereka begitu terguncang. Dunia mereka begaikan hancur berkeping-keping. Setiap hari mereka merindukanmu. Lampu kamarmu selalu menyala. Ayah ibu selalu tidur di kamarmu berharap kau akan kembali ke pelukan mereka. Tujuh tahun mereka merana di rumah itu. Wajah ibumu. Tak karuan. Akhirnya setelah tujuh tahun. Mereka bisa mengikhlaskanmu. Mereka pergi untuk menyusun kehidupan baru. Menemukan kebahagian baru. Walaupun tidak seindah saat kau ada.”

Anne meneteskan air mata “Lalu di mana keluargaku tinggal sekarang?” Nyonya Douglas menjawab singkat “Rumah itu ada di Northampton” Lalu ia memberikan alamatnya. Aku pun menjelaskan “Anne kita akan ke sana besok pagi,ibuku akan marah jika aku tidak pulang sekarang,aku pulang malam saja ia pasti akan marah besar” Anne menatapku nanar “Aku akan ke sana sendirian.” Aku menatapnya tajam “Di tengah malam seperti ini ? Tidak,aku tidak mengizinkanmu,terlebih jika kau sendirian. Kau sudah mengantarkan aku pulang. Sekarang tinggal aku yang akan mengantarkanmu pulang” Anne tertawa parau matanya benar-benar sudah sembab saat itu “Lalu jika kau sudah sampai di rumahku,siapa yang akan mengantarkanmu pulang?” Aku menjawab dengan tenang “ Aku bisa pulang sendiri sekarang ayo kita ke rumahku dulu. Ia pun menurut. Andrews meminta izin untuk mengantarkan kami pulang. Aku pun bertanya bingung. “Bukankah kau selalu menyendiri di rumah dan jarang ke luar?lalu bagaimana bisa kau mengendarai mobil?” Ia tersenyum ramah. Aku keluar jika aku ada keperluan. Sekarang aku pun ada keperluan. Jadi,izinkanlah aku mengantar kalian. “Kami pun mengangguk” Nyonya Douglas memberikan oleh-oleh untuk keluargaku. Kami pun pulang.

Pagi hari yang cerah. Andrews datang ke rumahku. Ia menjemput kami. Untuk mengantarkan kami ke rumah Anne. Kami pun bergegas. Pemandangan di luar begitu indah. Akhirnya kami sampai di rumah Anne. Pertemuan yang begitu mengharukan. Mereka menangis terharu bahkan adik-adiknya pun menyapanya. Tampaknya orang tua mereka telah memperkenalkan kakaknya dari dulu. Mereka mengajak kami untuk makan di dalam tapi aku pamit undur diri. Akhirnya kami pulang. Andrews mengantarku pulang. Ia mengatakan sesuatu padaku. Suaranya begitu lirih “Izinkan aku untuk ke toko buku sebentar” Aku pun mengizinkanya. Dan aku ikut masuk. Aku menemukan banyak buku yang bagus. Andrews membelikanya untukku sebenarnya aku menolak dengan keras karena harga diriku serasa hilang. Tapi ia memaksa. Saat perjalanan pulang ia menghadiahkan sebuah buku untukku. Dia menjelaskan padaku tentang sinopsis ceritanya. Setelah sampai rumah aku langsung istirahat. Badanku begitu cape sekali. The End.

 
Aku terbangun dari tidur siangku. Ternyata aku tertidur di bale-bale. Beberapa saat krmudian tercium aroma masakan ibu. Aroma itu membangkitkan gairahku untuk makan. Sinar matahari yang menyilaukan mata menyapaku. Sinarnya begitu hangat sehingga aku merasa seperti diselimuti oleh kehangatannya. Aku beranjak dari bale-bale itu. Dan memasuki rumah untuk sholat Ashar serta makan. Setelah itu aku kembali ke halaman belakang. Halaman ini begitu indah bagaikan lukisan. Bunga-bunga yang tumbuh liar seliar ilalang mengitari pepohonan. Pohon itu terlihat sangat teduh. Menyajikan apel dan jeruk. Kupu-kupu bertebangan bersama kicauan burung yang terdengar begitu merdu di telinga. Kumbang-kumbang hinggap di bunga anggrek. Aku membawa sebuah novel petualangan,lalu membaca di sebuah kursi empuk menghadap ke halaman. Di temani segelas jus jeruk dan angin semilir. Membuat kantuk berdatangan. Alhamdulillah tadi aku sudah tidur. Jadi, aku tidak tidur saat ini.

Belum sempat aku membaca paragraf pertama. Tiba-tiba aku mendengar suara berisik sekali. Ketenanganku terganggu. Aku melongokkan wajahku dari novel itu. Seekor tupai dengan biji kenari. Tupai itu memegang biji kenari dengan begitu erat. Takut ada yang mengambil. Aku memperhatikannya yang sedang sibuk berlari-lari tidak jelas. Andai kamera kakakku ada di tanganku mungkin sudah ku foto diri tupai itu. Sang tupai yang merasa di perhatikan akhirnya pun pergi ke dalam lubang di pohon. Entah kenapa ada lubang di situ. Untuk sarang binatang lain mungkin. Aku mendekat ke pohon itu. Aku menyalakan senter yang beruntung ada di sakuku. Ku lihat tidak ada tupai di situ. Entah kemana ia pergi. Mungkinkah ia masuk ke tempat yang lebih dalam lagi dari lubang itu? Mungkin saja.

Sesaat cahaya senterku terpantul oleh benda kecil. Aku menemukan sebuah kunci. Entah kunci pintu apa ini. Akupun bertanya pada ibuku. Ia hanya berteriak-teriak tidak jelas. Aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Untuk melepaskan rasa bosan. Aku pergi berjalan-jalan ke sebuah taman. Taman itu di penuhi berbagai macam bunga. Dan ada sebuah labirin.  Aku mencoba bermain di labirin itu. Tak ku sangka labirin ini begitu rumit. Aku di buatnya pusing. Begitu banyak persimpangan jalan. Aku memilih sesuai feeling. Aku berjalan sampai kakiku begitu cape dan letih. Aku yakin pasti jari kelingkingku lecet. Aku sudah tidak kuat lagi. Tapi akhirnya aku menemukan sebuah pintu. Ukiran pintu itu sangat bagus. Pintu itu berwarna hijau dengan ukiran berwarna emas. Pintu itu terkunci. Aku mencoba membuka pintu itu dengan kunci ini. Jika tidak berhasil aku akan pulang. Tapi itu artinya aku harus bercape- cape ria lagi untuk berjalan di labirin yang membosankan ini. Belum lagi jika aku tersesat. Akupun masih tetap mencoba membuka kunci itu.

Alhamdulillah pintu itu terbuka. Seberkas cahaya memasuki labirin ini. Aku menutup mataku karena tidak kuat untuk melihat cahaya yang menyilaukan itu. Dan akhirnya mataku bisa beradaptasi. Seperti di negeri dongeng,tempat ini begitu indah tapi sayang tempat ini hanya sekejap saja terlihat indah selebihnya tempat ini berubah murung. Awan mendung datang membawa kapasitas air begitu banyak. Hujanpun membasahi tubuhku. Aku mencari tempat berteduh. Labirin itu terlihat tidak terkena air hujan. Aku berlari menuju labirin itu. Tapi sayang pintu itu tertutup seketika. Aku tidak bisa membuka pintu ini walaupun memakai kunci ini lagi.

Aku tidak memiliki pilihan lain aku melanjutkan perjalananku. Pepohonaan hijau dengan berpuluh-puluh buah-buahan berubah menjadi pohon yang tidak memiliki daun. Bunga-bunga yang warna-warni terlihat layu kecoklatan. Rerumputan hijau sekarang di penuhi onak duri. Burung-burung berkicau pergi digantikan oleh suara burung hantu dan gagak hitam. Hujan terus mengiringi langkahku. Kelinci dan tupai yang berlarian berubah menjadi serigala yang melolong dan mengintai. Bukit-bukit landai berubah curam menjadi tebing. Menara yang seperti istana Raja berubah menjadi nuansa gothic seperti rumah nenek sihir. Mercu suar yang memberi penerangan kini redup. Membuat kapal yang ingin berlabuh langsung menabrak tebing. Membuat hancur sang kapal. Ombak-ombak berlomba dengan sangat agresif. Badai datang dengan marah. Kilat dan guntur datang silih berganti. Angin yang semula lembut kini menjadi angin ribut. Aku tidak memiliki tempat berteduh. Aku meneruskan jalan setapak. Bulan purnama muncul. Entah langkah ku atau hujan yang membawa kesedihan,kesepian dan ketakutan ini. 

Aku berjalan menuju mercu suar. Tempat ini terlihat seperti menara di sebuah tebing. Begitu tinggi di atas pantai. Tetapi ketinggiannya sejajar dengan gunung ini dan menyatu dengan gunung ini. Aku masuk ke dalam menara. Aku mengunci pintu karena aku takut serigala itu datang ke sini. Aku menaiki anak tangga. Begitu tinggi,dan berputar terkadang aku begitu lelah berjalan sampai-sampai aku menghentikan langkah untuk duduk dan melihat ke luar jendela. Jendela ini begitu menjorok ke luar. Menyediakan sebuah tempat yang bisa dijadikan tempat duduk. Aku naik ke jendela ini untuk duduk. Aku memandang pemandangan di luar. Laut masih belum tenang selama badai itu masih berputar-putar di situ. Andai badai telah pergi pasti pemandangan di luar begitu indah dengan camar yang berterbangan meliuk-liuk rendah untuk mendapatkan seekor ikan. Aku yang takut jika kilat menyambar ke jendela ini, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan menaiki tangga. Aku pun terus ke atas. Ke tangga yang berputar ini. Akhirnya aku sampai di puncak. Aku mengunci pintu. Takut penyihir di menara nan jauh di sana datang ke tempat ini. Aku sholat maghrib dan Isya. Akupun tertidur lelah.

                                                              ***

Aku terbangun dari tidurku. Aku tatap kamar ini. Rasanya berbeda. Ini bukan kamarku. Kamarku tidak berdinding batu alam abu-abu seperti ini. Dan tidak seluas ini. Kulihat pemandangan di balik jendela. Dan kamarku yang sesungguhnya hanya di lantai 2 dan hanya memiliki pemandangan atap rumah tetangga. Tapi di sini aku seperti di dalam menara. Tempat ini begitu tinggi entah berapa lantai. Dan pemandangan disini begitu indah. Di bawah menara ini amat sangat berbeda dari pemandangan biasanya. Di bawah menara ini ada sungai yang dihuni oleh banyak buaya. Membuatku bergidik. Aku kembali mengamati kamar itu. Warna temboknya abu-abu suram. Tapi di bagian dinding yang lain terdapat banyak lemari buku. Dan jutaan buku di dalamnya. Pintu terkunci entah di mana kuncinya. Dan aku tidak bisa membukanya dengan kunci ini. Aku merasa seperti dijadikan tahanan rumah. Tapi asal ada ribuan buku disini aku tidak keluar juga tidak apa. Tapi apakah aku akan mati kelaparan? Aku menghempaskan tubuhku ke lemari buku itu. Seketika aku merasa ada yang bergeser. Lemari itu bisa bergerak aku masuk ke ruangan sebelah di balik lemari ini. Ruangan ini berisi cerobong asap di ruang duduk dan di sebelah ruangan ini terdapat dapur dan kamar mandi. Di dapur terdapat beribu makanan cepat saji. Tampaknya makanan ini hanya akan mempersingkat masa hidupku. Lalu aku masuk ke ruangan sebelah dapur disana terdapat ruangan es yang sangat besar berisikan beribu-ribu stok makanan yang belum diolah. Tampaknya aku harus belajar masak di sini. Alhamdulillah di lemari buku ini terdapat resep masakan. Jadi aku bisa berusaha belajar masak.

Cuaca begitu panas dan kering. Aku pun bergegas mandi. Entah rumah siapa ini yang berfungsi sebagai mercu suar dan begitu mirip dengan menara. Airnya begitu segar. Di sebelah kamar mandi ada ruangan yang berisikan beribu-ribu pakaian. Aku memakai salah satunya. Setelah itu aku sholat shubuh. Alhamdulillah di tempat ini ada mukenah. Lalu aku membaca seluruh buku yang ada di kamar. Kumpulan buku yang sangat banyak. Setahun telah berlalu. Kuhabiskan waktuku untuk membacanya. Petualangan, pengetahuan, pengorbanan, agama, cinta serta sejarah. Semuanya disajikan di buku-buku ini. Sudah saatnya aku pulang,ini bukan rumahku. Tapi bagaimana caranya aku keluar dari menara tak bertuan ini? Aku mencari sesuatu di seluruh pelosok ruangan ini. Di laci aku menemukan sebuah diary berdarah. Sebuah catatan suram dari penghuni menara ini sebelumnya. Dia adalah seorang perempuan. Hidup di zaman victoria. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya yang dalam samar-samar disemasa kecilnya selalu menceritakan sebuah kisah padanya dari sebuah buku. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Setelah ia sudah bisa baca ayahnya sudah tidak datang lagi. Sudah tidak ada malam-malam yang penuh kisah yang diceritakan ayahnya. Saat ibunya datang ia selalu bertanya "Kemana ayah pergi? Kenapa ia sudah tidak berbagi cerita padaku lagi?" Ibunya hanya tersenyum dan menjawab menenangkan "Ia akan datang kembali membawa sejuta kisah hidupnya". Ibunya benar ayahnya datang lagi setiap tahun membawa sejuta kisah untuknya melalui buku-buku yang ia bawakan.

                                  

Ketika ayahnya pergi. Untuk menghilangkan rasa rindu pada ayahnya. Sang gadis dan ibunya membaca buku itu bersama-sama menghabiskan tiap malam,untuk membacanya. Suatu ketika ayahnya datang dengan membawa ajaran agama baru. Ia mengajarkan gadis kecil itu tentang Tuhan Yang Esa. Dan mengajarkan mereka bagaimana cara menyembah-Nya. Ia bercerita panjang lebar tentang agama itu. Agama itu dibawakan oleh Nabi Muhammad yang hanya dalam beberapa puluh tahun Ia berhasil membuat kaum yang jahiliyah menjadi beradab. Ia berhasil mengubahnya menjadi baik. Tapi keluarga gadis itu tidak bisa selamanya berada di negaranya untuk menikmati agama ini. Karena negara mereka akan membunuh orang-orang yang keluar dari agama leluhur nya. Ayah dan ibu nya membawa dirinya keluar dari kota itu. Akhirnya dia bisa melihat dunia dari kedua matanya sendiri. Tidak hanya melihatnya dari balik jendela ini. Tulisan itu berakhir di sini.

Dengan sebuah kunci kecil di belakang sampul buku itu. Aku mencoba membuka pintu kamar ini dengan menggunakan kunci itu tapi sayang kunci itu terlalu kecil. Suhu semakin rendah. Hawa dingin menyerbu ruangan ini. Besok mungkin akan turun salju. Aku tidak tahan dengan hawa dingin ini. Hawa ini bisa membuatku beku jika aku tidak banyak bergerak. Angin dingin menyergapku membuat tulang-tulang gemeteran. Aku harus  bergerak jika tidak ingin mati membeku. Aku ke ruangan sebelah yang memiliki cerobong asap. Ternyata di sini tidak ada stok batu bara untuk membakar apinya. Tidak pula ada kayu bakar. Hanya ribuan buku. Sayang sekali jika dijadikan bahan bakar. Aku melihat sesuatu di dalam tungku cerobong asap itu. Ada sebuah tuas. Aku menarik tuas itu. Di sebelahnya ada sebuah pintu kecil. Aku membukanya dengan menggunakan kunci itu.

Sebuah lorong. Begitu kecil. Aku harus merangkak seperti bayi. Udaranya benar-benar lembab. Lorong ini seperti tak berujung. Rasa cape menggelayut di tangan dan dengkulku. Rasa pegal menyertai leherku. Rasa takut terjebak di lorong itu ikut menyertaiku juga. Aku takut mati di dalam lorong itu. Dan tidak akan pernah ada yang tahu mayatku. Disini gelap sekali. Bodohnya aku tidak membawa senter. Mau balik ke tempat tadipun rasanya aku sudah terlalu jauh merangkak akan cape jika balik lagi. Lagipula aku tidak bisa berputar arah. Di sini begitu sempit. Apakah penulis diary berdarah itu pernah ke sini? Bahkan dia menulis dia tidak pernah keluar dari puri itu. Dan tak pernah diizinkan oleh kedua orang tuanya. Aku jadi ingin tahu. Keadaan seorang anak yang dikurung di sebuah menara selama 15 tahun apakah ketika ia keluar dari menara itu ia mengalami Antisosial?Menolak kedatangan orang-orang baru dalam hidupnya? Serta ketika melihat budaya-budaya baru ia akan mengalami culture shock. Serta belum bisa beradabtasi. Tapi dari buku-buku yang ia baca aku yakin ia sudah sedikit tau tentang dunia ini serta budaya-budayanya. Lagipula ia bersama kedua orang tuanya.

Aku terantuk sesuatu. Kaki ku sakit. Aku pun menyudahi diskusi dalam pikiranku. Aku terperosot. Jalanan ini begitu landai dan menurun. Dan aku berhenti. Jalan buntukah ini. Aku meraba ternyata ini sebuah tangga aku menaiki tangga itu. Aku mendorong atap itu. Dan ternyata ini sebuah ruangan. Ada sebuah penerangan. Harus menggunakan api kah? Aku mencari-cari sebuah korek api di saku ku. Bekas memasak tadi pagi.

 Ada sebuah lorong lagi. Lorong ini bagaikan labirin. Jalanannya agak besar membuat aku bisa berjalan di sini. Akhirnya aku menemukan persimpangan jalan. Aku harus memilih  jalan yang mana yang tidak buntu. Bahkan walaupun hanya memilih jalan yang mana yang tidak buntu,itu lebih baik karna aku bisa balik ke sini lagi dan mencoba jalan lain. Tapi jika aku memilih sebuah jalan yang pada akhirnya membawaku ke sebuah persimpangan jalan lagi itu baru merepotkan bisa-bisa aku akan tersesat dan mati di sebuah labirin ini tanpa ada yang tau di mana mayatku. Berhenti di sini pun tak ada gunanya. Itu hanya membuktikan aku menyerah dan memasrahkan nyawa ini. Menunggu waktu berjalan pun bukan pilihan yang bagus. Karena ketika kelaparan menyerang malaikat maut pun akan menjemput. Berbicara tentang rasa lapar yang menyerang. Aku lupa membawa makanan. Sungguh bodoh diri ini. Menjemput petualangan tanpa bekal sedikitpun.

Aku hanya bisa pasrah. Allah Maha Pemberi Rezki ia tidak akan lupa memberikan rezki kepada hamba-Nya yang sedang terkurung di sebuah goa tua ini. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang adalah aku harus menghemat energi dan segera cepat berjalan. Karena jika lampu minyak ini habis, maka akan repot sekali berjalan sambil meraba-raba. Aku pun  memilih jalan. Karena aku tidak tahu harus memilih yang mana akhirnya aku menggunakan feeling saja. Dan ternyata jalan ini dengan suksesnya membawaku ke persimpangan jalan. Aku memilih asal lagi. Tapi kupilih jalur kanan. Karena kanan itu biasanya bagus. Akupun terus berdoa agar aku bisa keluar dari goa ini. Aku tidak ingin terkurung di sini selamanya. Mati kelaparan dan tidak akan pernah ada yang tahu  tentang kematianku dan keberadaan mayatku.

Aku berjalan cukup lama aku sudah begitu haus untuk meneruskan perjalananku. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah danau di dalam goa. Aku meminum air untuk menghilangkan rasa hausku dan untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku ingin membawa air ini untuk bekal tapi di sini tidak ada yang bisa di jadikan wadah,menyedihkan. Apakah di sini akan ada ikan. Tapi bagaimana caraku menangkapnya aku tidak punya alat pancing. Lagipula kalau ada alat pancing aku tidak akan pernah sanggup menaruh cacing di tempat umpannya. Tapi karena situasi sudah begitu gawat. Mungkin aku akan lebih memilih memegang cacing daripada mati kelaparan. Aku berjalan mengelilingi danau agar jika haus. Aku bisa meminum airnya. Kaki ku sudah semakin letih. Tak bisakah aku istirahat dulu. Tapi jika istirahat minyaknya akan cepat habis. Aku pun matikan lampu minyak itu dahulu agar hemat. Aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Jika tiba-tiba cahaya mati sedangkan aku harus tetap berjalan. Aku pun mengantuk dan akhirnya memutuskan untuk tertidur.

. Aku tidak tahu sekarang siang,sore atau malam. Yang aku tahu aku sudah terlalu lama berjalan. Ya Allah tolonglah diri ini. Aku melanjutkan perjalanan. Dengan cahaya redup. Aku terus berjalan mengelilingi danau. Yang semula danau kini menjadi sungai. Sungai yang panjang meliuk- liuk. Aku lelah dan bosan. Aku menerka-nerka jika tadi aku berangkat setelah sholat Isya mungkinkah sekarang sudah shubuh? Akupun sholat untuk menghilangkan rasa lelah di hati karena entah kapan aku sampainya. Aku melanjutkan perjalanan sampai aku menemukan setitik cahaya. Jalan keluarkah itu? Aku menangis terharu. Allah mengabulkan do'a ku. Aku berlari cepat. Semua rasa letih di kaki hilang semua. Beban berat yang terasa di punggung menguap sudah. Begitulah rasa cape. Dia ada karena kita berfikiran untuk cape. Ketika kita membebaskan fikiran kita rasa lelah itu akan hilang menguap di telan langit. Dan mungkin juga karena adanya sebuah motivasi.

 Aku pun berlari. Dan di depan ku ternyata ada kunang-kunang. Jadi cahaya yang kukira jalan keluar hanya sekumpulan kunang-kunang. Lucu sekali,lebih tepatnya menyedihkan. Jadi, bagaimana ini nasibku ya Allah? Kenapa ketika aku meminta jalan keluar Kau hanya memberikan jalan buntu. Untuk melatih rasa sabarku kah? Hem apapun itu aku harus tetap bersabar dan terus menjalani kehidupan ini. Pilihannya hanya ada dua yaitu diam untuk menanti kematian atau terus berjalan. Tapi dengan terus berjalan walaupun letih dan lapar setidaknya aku masih memilki peluang untuk keluar dari goa ini. Aku terus berjalan untuk menyelusuri sungai ini.Sampai pada akhirnya cahaya itu nampak lagi. Aku tidak berlari-lari seperti tadi. Karena aku takut merasakan kecewa kedua kalinya. Akupun terjatuh berdebum. Tanah serasa kasur. Aku sudah terlalu lelah untuk berjalan aku akan bangun nanti saat dzuhur untuk shalat.

Beberapa jam kemudian hati kecilku berteriak. “Bangunlah jalan keluar sudah di depan mata jangan sampai kau menunggu goa ini berguncang dan menutup jalan keluar.” Aku terbangun tinggal beberapa langkah lagi. Aku bangun untuk sholat dzuhur dan meneruskan langkah. Aku tertawa getir melihat jalan keluar itu. Ternyata hanya lubang kecil. Bisakah aku melewati jalan itu? Tapi aku harus bisa jika aku tidak ingin mati terkurung di sini. Aku pun menarik batu berat ini agar celahnya menjadi besar sehingga aku bisa kmemasukinya. Tapi sayang sekali. Celah itu malah menjadi tertutup karna batu yang di atas jatuh tepat di celah kecil itu. Hiks sungguh menyedihkan. Apakah itu artinya takdir memintaku untuk tinggal di sini? Tapi hanya orang bodoh yang menjawab ya bersedia. Aku ingin pulang aku kangen ibuku, ayahku, kakaku, rumahku, sepupuku, saudaraku, nenekku, guruku, orang-orang yang ada di sekitarku. Walaupun terkadang ada konflik diantara kami. Tapi bagiku mereka tetap duniaku. Mungkin dunia menganggap mereka hanya seseorang,tapi bagiku mereka adalah duniaku. Aku pun bangkit aku tidak mau kalah oleh takdir siapa tau takdirku memang ada di luar sana bukan di dalam goa ini.

Aku mencari celah. Di atas sana ada sebuah celah muatkah untuk tubuhku? Tapi celah itu begitu di atas bagaimana ini. Aku seperti sedang memanjat tebing curam. Tapi aku tidak akan tahu apakah aku bisa atau tidak jika aku tidak mencobanya. Tapi ini begitu mustahil aku belum pernah belajar memanjat tebing. Tapi aku tetap berusaha. Aku pun mencoba merangkak ke atas tepat dugaanku batuan di bawah berjatuhan. Setelah bersusah payah. Akhirnya aku bisa sampai atas. Aku pun masuk ke celah kecil itu. Alhamdulillah tubuhku cukup untuk masuk ke dalam selah kecil itu. Aku melihat matahari bersinar. Mataku silau melihatnya. Aku turun dari gundukan batu dan memerosotkan diriku. Aku mencuci wajahku di sungai dan meminum air sebanyaknya.